Pages

Minggu, 21 Agustus 2011

ibuku.

Bismillahirrahmanirrahim.

Kawan, akan ku ceritakan padamu tentang ibuku.

Kenangan masa kecil yang ku ingat tentang ibuku tidak begitu banyak. Karena sebenarnya, kenangan masa kecilku tentang hal apapun memang tidak bersisa banyak. Salah satu yang aku ingat adalah sepenggal momen saat usiaku belum genap 4 tahun. Aku berada di kamar orang tuaku kala itu. Aku baru saja belajar menulis huruf. Apa kau pernah tahu buku belajar menulis huruf dengan cara mengikuti garis titik titik? Satu halaman satu huruf. Ku ikuti cetakan huruf itu dengan pensil, berkali-kali. Oh bila kau bertanya dimana ibuku, dia sedang mandi di dalam, sambil terus berbicara padaku. Dia baru saja pulang dari kerja. Di perjalanan pulang itulah ia membeli buku belajar menulis huruf, untukku. Untukku yang belum genap 4 tahun. Aku sangat bahagia kala itu, sungguh.

Dari rahimnya kami lahir, lima perempuan dan satu laki-laki. Aku adalah anak ketiga. Kata ibuku, dibanding yang lain, proses melahirkanku yang paling berat, susah, dan sakit. Dan ku kira, dibanding yang lain pula, proses membesarkanku jugalah yang paling berat, susah, dan sakit.

Ibuku wanita karir, kawan. Dia bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri. Ibuku mengecap pendidikan sampai S2 saja. Padahal, sebagai dosen, dia sering ditawari untuk melanjutkan S3, bahkan di luar negeri. Ibu selalu menolak. Tidak pintar bahasa Inggris, katanya. Tapi sebenarnya, ia hanya tak bisa meninggalkan anak-anaknya lebih lagi.

Ibuku sering pulang malam. Kadang-kadang, sebelum ia pulang, kami sudah tertidur. Kelelahan karena sekolah kami yang sampai sore. Namun terkadang, bila ibuku terlambat pulang, aku tak bisa tidur. Aku sangat takut ibuku mengalami kecelakaan di perjalanan pulang malam itu, kau tahu. Takut tak bisa melihatnya lagi, hanya bisa menangis. Tapi begitu ku dengar suara mobilnya, hatiku tentram sudah.

Begitu ibuku pulang dari mengajar malam, dia akan menuju kamar anak-anaknya sebelum apapun. Sekedar untuk melihat kami, menepok nyamuk, mengelus kami, dan mematikan lampu. Aku suka pura-pura tidur. Aku suka bunyi tepokan nyamuk ibuku.

Ibuku sangat senang dengan kisah perjalanan nabi. Dia cinta jazirah arab dengan segala pesonanya dan selalu berdecak kagum ketika ada siaran mengenai hal seperti itu di televisi. Ibuku juga senang bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris dengan kami. Untuk belajar, katanya. Tapi tentu saja percakapan itu seringkali malah kami timpali dengan bahasa Indonesia.

M: Do you want to go, my dear?
A: Iya ma
M: Ih, kenapa sih anak mama ditanya pake bahasa inggris jawabnya ‘iya’ semua *gemes*
A: Hahahaha


Ibuku tidak pernah belajar di sekolah Islam. Tapi dia menyekolahkan kami semua di sekolah Islam, walaupun biayanya tergolong cukup mahal. Ibuku bilang, dengan itu maka tunailah kewajibannya mengenalkan Islam pada kami.

Ibuku tidak pernah menyuruh kami untuk jadi profesor, presiden, insinyur, ataupun dokter. Impiannya satu; anak-anaknya menjadi anak yang sholeh. Tidak pernah ia menyuruh kami belajar gila-gilaan. Jika kami meraih ranking di kelas pun tidak ada hadiah istimewa darinya. Ia selalu berkata, anin belajar nanti anin jadi pinter, ranking cuma bonus aja.. Tapi lihat, betapa bangganya ia ketika anaknya menang di lomba ngaji se-komplek waktu TK. Cerita itu diulang-ulangnya.. Waktu anin TK anin udah apal sampe surat ini... Kawan, sungguh aku malu dengan diriku saat TK dulu.

Sampai sekarang, ketika sedang berdua denganku, pesan ibuku tetap sama; jadi anak yang sholeh ya nin... Namun dengan semua lalai shalatku dan salah yang kerap kulakukan, aku secara tak sadar telah merobek-robek impiannya. Pesannya yang lain kepadaku adalah tentang hal itu; kematian. Nanti kalau mama meninggal, mama mau..... Nanti kalau mama meninggal, anin ini ya....

M: Nin, nanti kalau mama meninggal, anin urus semuanya sesuai syariat ya.
A: .... Syariatnya kayak gimana ma?
M: Nah itu yang anin harus belajar.
Tertawa, kemudian hening. Ya, aku menolak membayangkan saat-saat kematian orang yang paling ku cintai.


Ibuku sudah tua, kawan. Sudah lewat setengah abad umurnya. Ibuku dulu sangat cantik, muda, dan terlihat berseri-seri. Setidaknya itulah yang ku lihat di foto KTPnya. Namun sekarang kulitnya sudah banyak kerutan, rambutnya mulai rontok dan beruban, raganya pun tak lagi sekuat dan selincah dulu. Waktu telah memakan fisik ibuku. Aku dan saudara-saudaraku berperan paling besar di dalamnya.

Ibuku bagai matahari di rumah kami. Dialah poros perputaran. Dialah sumber segala. Dari matematika dasar, tawar-menawar di pasar, sampai menu masakan harian.


Ibuku adalah ibu nomer satu di dunia.


Dialah alasanku untuk tidak pernah mempertanyakan mengapa syurga ada di bawah telapak kaki Ibu.

5 komentar:

Fajrie mengatakan...

d'best banget inih postingannya
ibu gw juga sering banget nepokin nyamuk yang lagi asik nemplok di badan anak2nya, dan gw sering banget pura2 tidur dan ngerasain tepokan lembut dari ibu gw, bukan cuma suaranya yang gw suka tapi sentuhan lembutnya :)
*jadi pengen bikin postingan tentang ibu juga nih :p

dea alias dey mengatakan...

ihik,yess I'm melting now,nin.. Terharu bangett. :')
mamanya anin hebaat.. setiap mama hebaaatt
Ayo jadi mama-mama #eh
:p

Ecky Agassi mengatakan...

semoga keberkahan selalu menyertai ibunya anin, aamiin

pertama ketemu ibu lo gw langsung ngefans nin, hahaha :)

nela indah ermawati mengatakan...

sama bgt ky.. gw langsung suka bgt sama mamanya anin.. satu hal yang bikin gw melting parah, panggilan mamanya ke anin. "anin sayaaaaaaaanggg" Beuh!!! >,<

Anindya Khairunnisa Zahra mengatakan...

@fajrie: yes, yes, tepokan yang pengen bunuh nyamuk tapi ga ngebangunin anaknya: one of the best scene! :) ayoo posting ttg ibu juga, kita tunggu :D

@dey: hehe iya, semua mama hebaat. :D

@eq: amin.. makasih ya q, the same goes to your mom, hehe..

@nela: haha makasih ya nel, kapan2 main ke rumah lagi, ntar km dipanggil "nela sayaaaang" juga deh :D

@all: doain mama sehat ya :')