Pages

Kamis, 27 Desember 2007

Ibu Arsi

Bismillahirrahmaanirrahiim.

In the name of Allah; the most gracious, the most merciful.

Foto saya, bersama sahabat saya yang calon S.T., calon arsitek; Mia. Foto diambil waktu acara TA 2007 (Jungle) di kawasan yang ternyata masih masuk wilayah Depok, Jawa Barat.

Baca doa manis menggelitik ini, yang dikirim via sms oleh si ibu arsi.

Bunyi sms-nya: (bahasa yang baik dan benarnya harusnya apa sih? Frase ‘sms berbunyi’ agak aneh.)

Nin,kmrn mia kirim comment d fs.dah d bc?
Tp krn skrg mia udh pny plsa..
Mia mw sms
Mw blg
Met milad!
Ha..
Mg..
Dpt byk rezeki biar bs lanjut spesialis
Dpt awet muda dn cantiq
Dpt jodoh impian ;D
Dpt cinta sjati ;p
Dpt hidup bahagia dnia akhrat
Dpt kmpul2 trus sm qta.. yaA


Manis kan? Tapi bikin ngakak. Sms ini sampai di hp saya yang masih E39* dan sekarang sudah tidak berbunyi lagi dan sulit dicharge, hari Rabu, 26 Desember 2007, di angkot biru D11, jalan Margonda Raya, depan Pesona Khayangan. Saya langsung tersenyum (baca: senyam senyum abnormal menahan ngakak) membacanya, dan senyum itu tidak hilang ketika saya harus berganti angkot ke D05 yang juga biru. Senyum,, yang tak jua lekang hingga citayam, bahkan ketika saya membacanya ulang di sini, di Jogja.

Mia.. Mia.. Jika Gula*u (sensor merk) katanya adalah gula alami, maka Mia adalah gila alami. Jadi teringat blog Dea yang juga tentang sms selamat milad ajaib dari Mia. Sekarang malah mengalaminya sendiri. Hahaa..

Comment di fs yang dia kirimkan pun bikin ngakak. “hatinya jangan ketinggalan lagi”. Bwahahaahhaa.. Mia.. Mia… Tapi, jika doa yang ia untai diresapi lebih dalam… Sungguh, manis. Doa pertama, mungkin tak lebih karena kami termasuk wanita bercita tinggi yang ingin meneruskan bakti Ibu Kartini (lebai). Saya ingin menjadi spesialis kandungan (berkat penjerumusan Dea yang mendalam, terima kasih), juga konsulen. Jika boleh ambil lagi subspesialis, dilanjutkan superspesialis. Hahaa. Tapi jika tak kesampaian, mungkin enak juga jika ambil S2 (maunya abroad), kemudian jadi dosen, dan jika sempat S3 agar bisa jadi guru besar. Jika tidak kesampaian jugaa.. Yaaah paling minimal spesialis lah (nawar). Sedangkan mia ingin melanjutkan studi arsi-nya abroad; Belanda atau Spore, iya Mi? Kemudian membuka usaha.. Kami memang sang pemimpi. Dan cita itu memang tidak mudah, makanya kami harus mimpi, usaha, berdoa. Kemudian, doa agar awet muda dan cantik.. Haha. Doa yang sangat jarang terdengar, tapi semua wanita tampaknya menginginkannya. Jodoh impian dan cinta sejati… Hahahaha.. Tawa saya mengakak lebih lagi (bahasa yang aneh), langsung teringat pembicaraan kami Senin lalu. Ini pasti karena itu. Hahaa.. Kemudian hidup bahagia dunia akhirat. No doubt, jutaan doa akan kebaikan terkandung dalam satu doa berharga ini. Dan pamungkasnya; dapat terus kumpul sama kita.. pakai embel-embel “yaA”. Manis sekali. Membaca doa penutup itu, saya langsung merindukan mereka semua, padahal saya masih di Depok, padahal hanya dalam hitungan jam, saya akan segera bertemu dengan mereka. Dan membaca doa penutup itu, tiba-tiba saya ingat syair lagu Mengejar Matahari; tetes air mata mengalir di sela derai tawa. Selamanya kita tak akan berhenti mengejar matahari.

'My' Day..

Bismillahirrahmaanirrahiim.

In the name of Allah; the most gracious, the most merciful.

Selasa, 25 Desember 2007 kemarin, genap sudah 18 tahun saya hidup di dunia. Saya selalu ingat hari lahir saya, tak pernah lupa. Padahal, saya ingin sekaliii saja lupa bahwa hari itu adalah hari lahir saya. Bagi saya akan keren sekali jika orang lupa hari lahirnya, kemudian baru teringatkan dengan ucapan selamat dan doa yang mengalir dari orang-orang terdekat. How silly. Tapi saya menganggap itu sesuatu yang keren, bahkan hingga saat ini. Namun sayangnya, saya tidak pernah seperti itu, dan mungkin tak akan pernah. Karena 25 Desember adalah hari yang ramai digebyarkan, di mana-mana; tv, radio, koran, internet, majalah, dan media massa lainnya. Mau tidak mau, keren tidak keren, saya akan ingat hari itu adalah hari lahir saya. Tapi setidaknya, ingatnya saya akan hari lahir saya membuktikan satu hal; bahwa saya masih bisa mengingat dengan baik (baca: tidak pikun), dan saya harus banyak bersyukur karenanya.

Bagi saya, hari lahir adalah hari yang penting. Hari pertama kita ada di dunia, hari pertama kita hidup. Sekadar intermezzo.. Saya menonton oprah spesial hari ibu. Disana ada seorang Demi Moore, yang mengatakan kurang lebih seperti ini; “Kita memiliki anak kita, hanya ketika kita mengandungnya. Tapi, ketika kita melahirkan, maka itu adalah sebuah proses untuk melepaskannya”. Walaupun agak ironis, saya suka kata-kata itu. Dimanakah letak ironisnya? Tanyakan saja pada peta. Peta peta petaa.. Hehe, ngawur. Oke.. Bagi saya adalah sebuah ironi, ketika seorang ibu melahirkan anaknya dengan sepenuh perjuangan dan sepenuh kesakitan, tapi justru proses penuh kesakitan itu menjadi proses untuk melepaskan apa yang (tadinya) ia punyai. Tapi intinya, ketika kita lahir, maka kita menjadi seorang individu yang bebas. Individu bebas yang tumbuh berkembang dan nantinya mungkin akan melahirkan individu bebas yang lain. Individu bebas yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Individu bebas yang akhirnya pun akan mati, setelah bebas mengekspresikan kebebasannya di dunia. (Waduh.. ada unsur promosi kartu gsm, nih.. hehe)

To be honest, I like ‘my’ day. Karena hari itu penuh doa. Doa untuk seorang ‘saya’, yang punya begitu banyak kekurangan, tetapi juga banyak keinginan. Hari itu saya (seolah) benar-benar ‘panen’ doa. Saya sampai berandai, kalau saja semua doa itu dikabulkan oleh Allah SWT, maka saya akan jadi orang paling beruntung dan paling bahagia sedunia. Hehe..

Berpuluh-puluh sms masuk hari itu, dan berpuluh-puluh pula doa indah yang berhambur. Dan sedapat mungkin saya me-reply semuanya. Karena saya berpikir, kapan lagi ada momen seperti ini. Kapan lagi orang-orang akan sms saya dan kapan lagi saya akan sms orang-orang (hehe.. ga segitunya juga sih..). Tapi itulah saya. Saya ingin orang-orang itu tahu bahwa saya bahagia atas perhatian, doa, dan pulsa yang mereka berikan.

Terimakasih sangat… Semoga Allah mengabulkan tiap doa baik kalian.. Dan semoga, Allah membalas segala kebaikan kalian, dengan yang lebih dan lebih baik. Amiin.

Selasa, 25 Desember 2007

Iri.

Bismillahirrahmaanirrahim.

In the name of Allah; the most gracious, the most merciful.

Saya merasa benar-benar di “rumah”. Bukan rumah CC 4, tapi rumah yang luas; Depok, atau lebih tepatnya; Smansa. Kemarin, 23 Desember 2007, saya bertemu banyak teman saya yang sangat saya sayangi. Ada Mbak Stan, Dey, Mia, Fitri, dan Ns. Kemudian hari ini, 24 Desember 2007, saya bertemu lagi dengan lebih banyak orang; keluarga Smansa yang bahagia. Mia (lagi), Ardie, Achih, dan Ridwan di Gramed. Mia (lagi), Riris pake s, Ka Yantie, Agnez, Firda, dan Puspa di Detos (setelah diajak gila-bersama sama si ibu arsi; Mia). Kemudian Mia (lagi), Ka Wieke, Ka Eky, Ka Letty, Ka Wita, Ka Noie (pejuang MPK!!), Ka Anti, Ka Ina, Oki, Bang Er, Achih (lagi), dan Dey (lagi),, di Masjid UI yang entah mengapa berbau tak sedap kala itu.

Dan di lantai dua MUI waktu itu, ketika saya menanti kedatangan bu Dey, saya merasa iri, sungguh iri dengan teman-teman saya yang jakun-ers. Bukan, bukan karena MUI lebih indah daripada Maskam UGM. Bukan pula karena danau UI yang menampang indah di sisi MUI, dan juga bukan karena warna jas almamater UI yang kuning, sedangkan jas almamater UGM yang warnanya ajaib undescribable. Tapi karena aura kekeluargaan di sana. Atau lebih tepatnya bila saya katakan; karena banyaknya orang yang saya kenal di sini. Betapa banyak sisters yang dapat saya salami dan ajak berbincang di sini... Betapa banyak alumni Smansa Depok yang belajar di sini. SMA saya tercinta itu, Smansa Depok, sungguh tercitra sangat baik di UI. Keadaan ini berbeda dengan UGM, teman. Di Jogja, Smansa Depok masih terdengar seperti sekolah biasa. Ya, SMA biasa. Padahal sungguh saya menyadari betapa luar biasanya sekolah saya itu. Keadaan itu diperparah dengan adanya nama sekolah yang persis sama, Smansa Depok, bedanya; Depok Sleman, bukan Depok Jawa Barat.

Dalam hati saya sungguh iri. ingin merasakan kenyamanan yang sama. Namun di bagian yang lebih profundal lagi dalam hati saya, muncul riak-riak keinginan dan mimpi untuk memulai pencitraan indah akan nama Smansa Depok (Jawa Barat) di lingkungan UGM dan Jogja. Mungkin sayalah yang harus memulainya, atau minimal memulai untuk memimpikannya. Karena seperti kata Arai, ”Tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati.”

Piagam Kemenangan Gilang Gemilang

Bismillahirrahmaanirrahim.

In the name of Allah; the most gracious, the most merciful.

“Bagiku jilbab adalah piagam kemenangan gilang gemilang, kemenangan terbesar bagi seorang perempuan Islam atas dirinya, atas imannya, dan atas dunia.” (Andrea Hirata, Sang Pemimpi)

Saya tertegun membaca kalimat ini. Sebuah kalimat dari seorang Andrea Hirata, yang dalam bukunya (koreksi jika salah), hanya menemukan dua cinta, A Ling dan Katya. Hanya dua, dan tidak satupun dari mereka Islam. Dan tentu saja, tidak satupun dari mereka berjilbab.

Saya pun akhirnya berhasil memformulasikan kata-katanya dengan kenyataan tersebut menjadi teori-teori yang sok tahu. Teorinya adalah (jrengjrengdumdudumplokplokpyaaargubrakmeong) 1. Bahwa cinta memang terkadang tak memandang apapun 2. Bahwa orang kebanyakan (seperti Mr. Hirata dan Saya) cenderung akan selalu menaruh respek terhadap lawan jenis seiman yang menjaga dirinya dan berusaha taat pada Tuhannya, walaupun mungkin tidak menaruh cinta padanya. Setujukah?

Piagam kemenangan gilang gemilang. Kata-kata yang besar. Yang muncul di benak saya adalah gambar seorang pelari olimpiade, yang berhasil menembus pita finish, hanya sedikit saja lebih depan daripada lawan-lawannya. Walaupun letih, walaupun glandula sudoriferanya hiperekskresi kala itu, dan walaupun nafasnya kemudian berpola Kussmaul’s sebagai kompensasi perjuangannya, dia mengangkat trophy sebagai “piagam kemenangan gilang gemilang”nya, penuh senyum, berlumur bangga, bahagia tak tertahankan karena berhasil mengibarkan bendera negaranya, menggemakan lagu kebangsaannya, dan klimaksnya, mencetak rekor baru. Itulah gambar deskriptif yang muncul di benak saya. Tapi gambar di benak Mr. Hirata cukup simpel; seorang perempuan Islam yang berjilbab, itu bisa Saya, Anda, teman-teman Anda, atau jutaan muslimah—yang disebut Mr. Hirata ‘perempuan Islam’—lainnya di dunia. Entah, apakah mereka penuh senyum, berlumur bangga, dan bahagia tak tertahankan membawa (baca: mengenakan) “piagam kemenangan gilang gemilang” itu, atau tidak.

Senin, 17 Desember 2007

le'e, souha gele (tidak, terima kasih)

Saya merasa berat berada di sini, di FK UGM. Masuk ke blok 3 , jadwal makin menggila. Saya pun tak bisa berlama-lama merindu di rumah, karena libur yang hanya seminggu. Libur, yang bahkan disindir tidak seharusnya ada oleh koordinator blok 3, dr. Jarir Ath Thobari, PhD. Beliau mengatakan, Indonesia adalah satu-satunya negara yang merayakan hari kejepit. So deep.. (kalau orang Jogja bilang; mak jleb jleb..). Dalam hati, saya mengiyakan pandangan kritis beliau. Kemudian beliau berkata, karena adanya libur 1 minggu itu (padahal di fakultas lain 2 minggu, atau bahkan lebih), maka tidak akan ada libur semester. Artinya, dalam satu minggu libur yang tidak seharusnya ada tersebut, saya harus hempaskan segala rindu saya, untuk 7 bulan ke depan yang tanpa libur.
Rumah. Kata terindah dalam hidup saya setelah mama. Sungguh saya ingin berlama-lama di rumah. Tapi tampaknya ada satu kata baru yang muncul dengan begitu indah dalam jiwa saya; dokter. Ya, saya ingin jadi dokter. Di atas segala prestise yang disandangkan oleh masyarakat Indonesia atas titel itu, dokter memiliki makna lain dalam hati dan jiwa saya.
Kembali teringat dengan pertemuan dengan koordinator blok 2 kemarin.. Seorang teman saya mengeluhkan jadwal kami yang begitu padat. Koordinator blok 2, dr. Tri Wibawa, PhD dengan indahnya menjawab, "kami bisa saja mengubah jadwal seperti keinginan anda." Wah, sebuah angin segar bagi kami. Tapi, kemudian beliau melanjutkan.. "tapi anda mau lulus 7 tahun?". Waduh. Tidak, terima kasih.
Dan ketika saya sekarang, harus menghadapi hal yang juga sama beratnya (tidak ikut cgts, red) saya ingat bahwa ini demi kelulusan saya yang 3,5 tahun dan bukan 7 tahun. Yang mungkin, mendahului kelulusan teman-teman saya yang lain.
Dan demi itu, mungkin saya harus sejenak melupakan indahnya kata mama, rumah, dan cgts.