Bismillahirrahmanirrahiim.
Dua garis merah yang muncul kala itu menjadi pertanda kedatanganmu, sayang. Ayahmu langsung mencium keningku, kemudian perutku, dimana engkau masih terlelap, nyenyak. Ku coba sembunyikan rasa cemasku, sungguh. Namun tetap saja ayahmu bisa membaca kedua mataku seperti tak berbatas, seperti biasanya. Kau penghuni keempat dalam rahimku. Setelah sebelumnya kakak pertamamu
yang meninggal saat lahir, kakak keduamu yang meninggal di usianya yang
baru 5 hari, dan kakak terakhirmu yang alhamdulillah dua bulan lagi akan genap berusia 8 tahun. "Tenang cinta, kali ini akan baik saja," katanya.
Semenjak saat itu, ayahmu bekerja lebih keras, pulang lebih malam, dan tidur lebih sedikit dari biasanya. Tapi tetap tak pernah ada kata keluh yang keluar diantara peluhnya. Lelaki kuat itu memang sedikit bicara, namun senyum dan genggaman tangannya melebihi puisi paling romantis sejagat raya.
Menginjak kehamilanku yang delapan bulan, sudah dua kali aku mengalami pendarahan. Dua kali pula aku harus opname di rumah sakit. Plasenta letak rendah, kata dokter. Bahkan plasenta itu bisa saja menutupi jalan lahirmu nanti. Ayahmu menggenggam tanganku kuat-kuat, mencoba menenangkan. Malamnya, aku melihat ayahmu bersujud sambil terisak.
Perdarahan lagi! Dua minggu setelah istirahat di rumah, keluar darah lagi dari jalan lahirku. Kali ini lebih banyak, hingga tak bisa lagi menggumpal. Darah terus mengalir. Aku segera dilarikan ke rumah sakit oleh ayahmu. Dokter menjelaskan bahwa engkau harus dilahirkan secara sesar. Plasenta itu benar-benar telah menutup jalan lahir, katanya. Leher rahimku yang telah perlahan-lahan membuka menyebabkan perdarahan itu terjadi.
Aku pun segera dipersiapkan untuk menjalani operasi. Ayahmu kalang kabut mencarikan darah berkantong-kantong untukku. Operasi dimulai. Engkau lahir dengan selamat, sayang. Tetapi ternyata plasentamu melekat terlalu dalam dan rahimku gagal untuk berkontraksi dengan baik. Dan karenanya aku harus kehilangan 3 liter darahku. Berpuluh kantong cairan dan darah dimasukkan untuk menyelamatkan nyawaku. Untuk itu juga, aku harus kehilangan rahimku.
Setelah operasi itu, aku dirawat di ruangan intensif di rumah sakit. Biayanya tidak sedikit, kau tahu. Perawatan dua hari di sana bisa menghabiskan gaji ayahmu sebulan. Tetapi dia tetap di sana, mendampingiku saat jam besuk, mendengarkan dengan seksama penjelasan dari dokter, tanpa sedikitpun meminta agar aku dirawat di bangsal biasa saja, bukan di sini.
Anakku, bolehkah kami memintamu untuk menjadi anak sholeh?
_____________________________________________________________________________________________
Inspired by a true story. Hasil perenungan jaga di ICU; Ny. N, 39 tahun, P4A0. Hikmahnya bisa disimpulin sendiri-sendiri ya. Salah satunya kalo untuk saya, orangtua kita itu pantes untuk dapet hormat kita, lebih daripada atasan atau senior, lebih dari siapapun. Ngerasa kurang ajar kalo bentak atasan? Apalagi orangtua. Note to self.. Jaga nada bicara, jaga kelakuan, jaga nama baik, doa ga putus-putusnya buat mereka. They literally give everything for us. Tahu diri.
Ohya satu lagi, yang punya tetangga atau saudara kurang mampu, coba dikasih info soal jampersal (Jaminan Persalinan) dari Jamkesmas. Karena kejadian-kejadian gawat kayak gini ga jarang ditemuin selama kehamilan dan persalinan.. Infonya bisa dibaca di sini.
"Selamat datang, Cinta.
Untukmu, aku rela tiada. Ikhlas menggadai jiwa.
Semata asal kau camkan amat-amat; hanyalah satu yang segala.
: Tuhanmu, yang ahad, yang eka, yang esa."